Secara etimologi, Kepemilikan (al-milk) berasal dari bahasa Arab dari
akar kata "malaka" yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. Kepemilikan
atau al-milk biasa juga disebut dengan hak milik atau milik saja. Para
ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai ”kekhususan
seseorang terhadap harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya
mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut, baik
memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”.
Secara terminology, ada beberapa definisi Al Milk yang dikemukakan oleh para fukaha.
Wahbah al-Zuhaily memmberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف ابتداء الا لمانع شرعي
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang
menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan
tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.37
Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang
menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya
bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Muhammad Abu Zahroh, Al-Milkiyyah wa Nazhariyatul al’Aqd fi al-Syari’ah
al-Islamiyyah, Mesir dar al-Fikri al-‘Araby, 1962, hlm. 15.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang
yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang
dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara
barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang
dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya
untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan
keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti
gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga
belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si
empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk
tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau
apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si
empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig
atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan
dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan
syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki.
Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti
wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk
mewakili).
“Kepuyaan Allah lah kerajaan di langit dan di bumi dan apa yang ada
di dalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu” (Al Maidah : 120)
Ayat di atas merupakan landasan dasar tentang kepemilikan dalam Islam.
Ayat diatas menunjukan bahwa Allah adalah pemilik tunggal apa-apa yang
ada di langit dan dibumi dan tidak ada sekutu bagi Nya. Lantas Allah
memberikan atau menitipkan kekuasaan bumi pada manusia, agar manusia
mengelola dan memakmurkannya.
“Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”(QS. An-Nuur : 33)
“Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. “(QS. Al-Hadid : 7)
“Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh : 12)
Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang
status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan
kepada diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan “Maalillah” (harta
kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang
perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan
kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan
firman-Nya :
“Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. “(QS. An-Nisaa` : 6)
“Ambillah dari harta-harta mereka. “(QS. Al-Baqarah : 279)
“Dan harta-harta yang kalian usahakan.” (QS. At-Taubah : 24)
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan
kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia
secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut
bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia
hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena
itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak
milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT
kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh
karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang
apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk
memilikinya.
Unsur-Unsur Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam
Dalam Islam terdapat tiga unsur-unsur kepemilikan, yaitu kepemilikan
individu (private property), kepemilikan umum (public property), dan
kepemilikan Negara (state property).
- Kepemilikan Individu / Private Property
Kecenderungan pada kesenangan adalah fitrah manusia, Allah menghiasi
pada diri manusia kecintaan terhadap wanita, anak-anak, dan harta benda.
Sebagaimana Allah suratkan dalam Al Qur’an,
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenanganhidup didunia, dan disisi Allah lah
tempat kembali yang baik” (Q.S Ali Imran:14)
Dalam ayat diatas dengan sangat jelas Allah menjelaskan bahwa
kecenderungan manusia terhadap kesenangan adalah fitrah manusia. Oleh
karena itu, manusia terdorong untuk memperolehnya dan berusaha untuk
mendapatkannya. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Dari sinilah,
maka usaha manusia untuk memperoleh kekayaan adalah suatu hal yang
fitri, dan merupakan suatu yang pasti dan harus dilakukan.
Islam adalah agama yang fitrah, dan tidak ajaran yang terdapat
didalamnya bertentangan dengan fitrah manusia. Islam menghargai
kecenderungan manusia pada hal-hal yang indah dan menyenagkan. Oleh
karena itu, setiap usaha dan upaya yang melarang manusia untuk
memperoleh kekayaan adalah sangat bertentangan dengan fitrah. Begitu
juga setiap usaha membatasi kekayaan manusia dengan takaran tertentu
juga bertentangan dengan fitrah. Islam tidak dihalng-halangi untuk
memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Manusia diberiakn kebebasan
sebesar-besarnya dalam memperoleh kekayaan. Hanya saja, Syariat
membatasi dalam hal cara memperolehnya. Syariat telah menentukan
aturan-aturan dalam memperoleh kekayaan. Setiap orang mempunyai tingkat
kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda dalam memenuhi
kebutuhannya.apa bila manusia diberiakan kebebasan cara memperolehnya,
maka hanya aka nada segelintir orang yang memonopoli kekayaan,
orang-orang yang lemah akan terhalang untuk memperolehnya, sementara
orang-orang rakus yang akan menguasainya.
Oleh karena itu, kepemilikan akan suatu barang harus ditentukan dengan
mekanisme tertentu. Sedangkan, pelarang terhadap kepemilikan barang
harus ditentang, karena bertentangan dengan fitah manusia. Pelarangan
kepemilikan berdasarkan kuantitas nya juga harus ditentang, karena akan
melemahkan semangat untuk memperoleh kekayaan. Begitu juga, kebebasan
dalam memperolehnya juga akan menyebabkan kesenjangan social pada
masyarakat.
Sungguh Islam adalah agama solusi. Islam memperbolehkan kepemilikan
individu dan memberikan batasan mekanisme dalam memperolehnya, bukan
membatasi kuantitas. Cara ini sangat sesuai dengan fitrah manusia, ia
akan mampu mengatur hubungan antar manusia denga terpenuhinya kebutuhan.
- Kepemilikan Umum / Public Property
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat
untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang
termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukan untuk suatu komunitas
masyarakat. Benda-benda yang termasuk kedalam kepemilkan umum sebagai
berikut:
1)Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada didalam suatu negri atau
suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
2)Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
3)Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Rasulullah telah menjelaskan akan ketentuan benda-benda yang termasuk ke
dalam kepemilikan umum. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda
:
“Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal : air, padang dan api “. (HR. Abu Dawud)
Anas meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan :
wa samanuhu haram (dan harganya haram ). Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda :
“Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang dan api “. (HR.Ibnu Majah)
Mengenai barang tambang, dapat diklasifikasikan ke dalam dua: (1) Barang
tambang yang terbatas jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar
menurut ukuran individu. (2) Barang tambang yang tidak terbatas
jumlahnya. Barang tambang yang terbats jumlah dapat dimiliki secara
pribadi. Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak
mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin
hamal:
“Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola
tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada
seorang dari majlis tersebut bertanya, “wahai Rasulullah, tahukah
engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir.” Rasululllah
kemudian bersabda, “kalau begitu, cabut kembali tambang itu darinya.”
(HR. At Tirmidzi)
- Kepemilikan Negara / State Property
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim,
sementara pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’ telah
menentukan harta-harta sebagai milik Negara; Negara berhak mengelolanya
sesuai denga pandangan dan ijtihad. Yang termasuk harta Negara adalah
fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak pernah
menentukan sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta kepemilikan
umum dan Negara adalah, harta kepemilikan umum pada dasarnya tidak
dapat di berikan Negara kepada individu. Sedang harta kepemilikan Negara
dapat di berikan kepada individu sesuai dengan ketentuan yang telah
disepakati.
Harta (al maal) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun
bentuknya. Sedang, yang dimaksud dengan sebab kepemilikan (sabab at
tamalluk) adalah sebab yang bisa menjadikan seseorang memiliki harta,
yang sebelumnya bukan memjadi miliknya. Adapun sebab-sebab pengembangan
kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki.
A. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya,
bermacam-macam bentuknya. Allah telah menentukan bentuk-bentuk kerja dan
jenisnya yang layak untuk di kerjakan sebagai sebab kepemilikan. Dalam
hukum-hukum syariat sudah sangat jelas ketentuan-ketentuan akan hal
ini. Bentuk-bentuk bekerja yang dijadikan sebagai sebab kepemilikan
adalah sebagai berikut:
- Menghidupkan tanah mati (ihya’ al mawat)
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan sudah tidak
dimanfaatkan lagi oleh seorang pun. Yang dimaksud menghidupkannya adalah
mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya. Oleh
karena itu, setiap usaha untuk menghidupi tanah mati adalah telah cukup
menjadikan tanah tersebut miliknya. Dari Umar bin Khatab, Rasulullah
bersabda: “ siapa saja yang menghidupi tanah mati, maka tanah itu
menjadi miliknya” (H.R Al Bukhari). Di hadist lain Rasulullah
mempertegas kembali, Rasulullah besabda: “ siapa saja yang memagari
sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya. (H.R Ahmad ). “ siapa
saja yang lebih dulu sampai pada sesuatu (tempat disebidang tanah),
sementara tidak ada seorang muslim pun sebelumnya yang sampai padanya,
maka sesuatu itu menjadi miliknya”. (H.R At Thabrani).
Dalam hal ini tidak ada pembedaan antara muslim dan kafir dzimmi, karena
dalam hadist tersebut bersifat mutlak. Kepemilikan atas tanah tersebut
memiliki syarat, yanah tersebut harus dikelola selama tiga tahun sejak
tanah itu dibuka dan terus-terus digarap manfaatnya. Apabila tanah
tersebut belum dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka
atau dibiarkan selam tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah
tersebut hilang. Hal ini pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin
Khatab, dari penuturan Amr bin Syu’aib bahwa Khalifah Umar membatasi
masa pemagaran selama tiga tahun. Umar bin Khatab berkata: “ orang yang
memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya ) tidak memiliki
hak atas tanah itu setelah tiga tahun”.
Yang termasuk dalam kategori bekerja adalah menggali kandungan bumi.
Jenis kandungan bumi yang dalam kategori ini bukan merupakan kebutuhan
mendasar suatu komuitas masyarakat, atau yang disebut rikaz. Menurut
ketentuan fikih, seorang yang menggali kandungan bumi berhak atas 4/5
bagian, sedang 1/5 bagian sisanya harus dikeluarkan sebagai Khumus.
Ketentuan harta rikaz adalah apabila harta yang tersimpan didalam tanah
tersebut asalnya karena tindakkan seseorang dan jumlahnya terbatas dan
tidak sampai pada jumlah yang didibutuhkan oleh suatu komunitas dalam
jumlah yang sangat besar. Jika suatu harta dari dalam tanah yang tidak
diusahakan oleh seseorang dan dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka
harta seperti ini bukan rikaz, tapi merupakan harta kepemilikan umum.
Yang juga bisa disamakan dengan harta kandungan bumi, adalah harta dari
udara, seperti oksigen dan nitrogen. Begitu juga dengan harta lainnya
yang diperbolehkan oleh syariat untuk dimiliki.
Yang juga termasuk kedalam kategori bekerja adalah berburu. Yang
termasuk kedalam berburu yang diperbolehkan dalam Islam adalah berburu
seluruh jenis Ikan, mutiara, permata dan hasil buruan laut lainnya.
Begitu juga dengan buruan hewan-hewan darat dan udara, seperti berburu
burung,rusa dan lain-lain. Ketentuanya binatang buruan adalah binatang
bebas, artinya binatang atau harta tersebut tidak dimiliki oleh orang
lain, dan merupakan kepemilikan umum. Sebagaimana Allah berfirman akan
kebolehan dalam berburu:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang
yang dalam perjalanan. Diharamkan atas kalian (menangkap) binatang
buruan darat selama sedang ihram.” (Q.S al Maidah : 96)
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah kalian berburu” (Q.S Al Maidah : 2)
“Mereka bertanya kepada mu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”
Katakanlah: “Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan buruan yang
ditangkap oleh binatang buruan yang telah kalian latih untuk berburu
menurut apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian. Karena itu, makanlah
dari apa yang ditangkapnya untuk kalian dan sebutlah nama Allah atas
binatang buruan itu (waktu melepasnya).” (Q.S Al Maidah:4)
Abu Tsa’labah al Khasyani juga pernah berkata : “Aku pernah mendatangi
Rasulullah saw, lalu bertanya “Rasulullah kami bisa berburu didarat. Aku
berburu dengan busurku, dan kadang berburu dengan dengan anjingku yang
terlatih maupun anjingku yang tidak terlatih.katakanlah kepadaku, apa
yang selayaknya aku lakukan ? Beliau menjawab, “tentang apa yang aku
ingat, bahwa kalian berburu di darat, maka engkau berburu dengan
busurmu, kemudian sebutlah asma Allah setiap (melepas busur) pada
buruanmu, lalu makanlah. Hewn yang engkau buru dengan anjingmu yang
terlatih dan engkau sebut asma Allah (ketika melepas anjing)kepada
buruanmu, makanlah. Adapun hewan yang engkau buru denagn anjing yang
tidak terlatih , sembelihlah kemudian makanlah. “ (HR An nasai dan Ibnu
Majah)
- Makelar (samsara) dan pemandu (dalalah)
Samsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan
mendapatkan upah. Sebutan ini juga bisa digunakan bagi orang yang
memandu orang lain (dalal). Dari Qais bin Abi Gharzat al kinani yang
mengatakan :
“kami pada masa Rasulullah saw biasa disebut samasirah. Kemudian suatu
ketika kami bertemu dengan Rasulullah, lalu menyebut kami dengan
sebutan yang lebih pantas dari sebutan itu. Beliu bersabda, “ wahai para
pedagang, sesungguhnya jual-beli itu bisa mendatangkan omongan yang
bukan-bukan dan sumpah palsu. Karena itu, kalian harus memperbaikinya
dengan kejujuran” (HR. Abu Daud)
Mudharabah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam suatu
perdagangan. Modal dari satu pihak sedang pihak lain memberikan tenaga.
Hasil dari keuntungan akan di bagi sesuai kesepakatan. Hasil inilah yang
sah untuk dimiliki. Oleh karena itu mudharabah termasuk dari bekerja.
Rasulullah bersabda :
“Perlindungan Allah SWT diatas dua orang yang melakuakan kerjasama
selama mereka tidak saling mengkhianati. Jika salah seorang dari mereka
saling mengkhianati mitranya, maka Allah akan mencabut perlindungan Nya
terhadap keduanya.” (HR. DaruQutni)
Musaqat adalah seseoarang menyerahkan kebunnya untuk dikelola oleh
orang lain merawat dan mengurus kebun tersebut, yang darinya akan
mendapa bagi hasil dari hasil panennya. Dengan demikian musaqat
merupakan termasuk dalam kategori bekerja yang dibolehkan oleh syariat.
Sebagimana Abdullah bin Umar mengatakan :
“sesungguhnya Rasulullah pernah memperkerjakan penduduk Khaibar dengan
upah berupa buah atau tanaman dari hasil yang diperoleh.” (HR. Muslim)
Yang termasuk kedalam kategori bekerja adalah Ijarah, yaitu kontrak
kerja. Artinya mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang bekerja
untuk dirinya. Allah berfirman:
“Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan
diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, serta
meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka memperkerjakan sebagian yang lain.” (QS. Az
Zukhruf: 32)
B. Warisan
Diantara sebab-sebab kepemilikan adalah warisan. Sifatnya yaitu
kepemilikan akan harta secara turunan kepemilikan dari orang tua. Akan
hal ini Allah telah jelaskan dalam hukum-hukum yang sudah sangat jelas.
Allah berfirman:
“Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka
untuk0 anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu semuanya wanita
lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan.” (QS. An Nisa : 11)
C. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
Diantara sebab-sebab kepemilikan adalah adanya kebutuhan akan harta
untuk menyambung hidup. Sebab, kehidupan adalah hak bagi setiap orang.
Sesorang wajib untuk mendapatkan kehidupan sebagi haknya. Salh satu hal
yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah denga bekerja, untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Namun jika ia tidak dapat bekerja,
maka Negara bertanggung jawab untuk mengusahakan ia dapat bekerja. Jika
ia tidak dapat bekerja karena terlampau tua, maka orang-orang kaya atau
Negara wajib untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika hal itu tidak
terpenuhi, hingga ia kelaparan, maka dibolehkan baginya untuk mengambil
apa saja yang dapat digunakan untuk menyambung hidupnya. Jika hidup
menjadi sebab untuk mendapatkan harta, maka syariat tidak akan
menganggap itu sebagi tindakan mencuri. Abu Umamah menuturkan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Tidak ada hukum potong tangan pada masa-masa kelaparan.” (HR. al Khatib Al Bagdad)
D. Pemberian harta Negara untuk rakyat
Yang juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara
kepada rakyat yang diambil dari baitulmal, baik dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan mereka atau memanfaatkan kepemilikan mereka. Dapat
berupa pemberian tanah untuk digarap, atau melunasi utang-utang mereka.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan para petani di Irak
harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah
pertanian mereka, serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta
imbalan dari mereka.
E. Harta yang diperoleh tanpa harta dan tenaga
Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperoleh dari tanpa harta dan tenaga ada lima, yaitu :
- Hubungan antara individu satu sama lain, baik ketika masih hidup
seperti Hibah dan Hadiah, atau pun ketika sepeninggal mereka, seperti
wasiat.
- Menerima harta sebagai gantirugi dari kemudharatan yang menimpa
seseorang, seperti Diyat (denda) atas oaring yang terbunuh atau terluka.
- Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
- Barang temuan (luqathah)
- Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya.
Para ulama fiqh membagi kepemilikan kepada dua bentuk,yaitu:
1. Al milk At Tamm (milik sempurna)
Yaitu apabila materi dan manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh
seseorang, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta itu dibawah
penguasaannya. Milik seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu
dan tidak boleh digugurkanorang lain. Ciri-cirinya diantaranya, (a).
sejak awal kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna.
(b) Materi dan manfaatnya sudah ada sejak sejak pemilikan itu. (c)
Pemilikannya tidak dibatasi waktu. (d) kepemilikannya tidak dapat
digugurkan.
2. Al Milk An Naqish (kepemilikan tidak sempurna)
Yaitu apabila seseorang hanya menguasai materi harta itu, tetapi
manfaatnya dikuasai orang lain. Adapun cirri-ciri nya adalah, (a) Boleh
dibatasi waktu,tempat, dan sifatnya. (b) Tidak boleh diwariskan. (c)
orang yang menggunakan manfaatnya wajib mengeluarkan biaya pemeliharaan
- Perbandingan Hak Milik Pribadi Dalam Sistem Ekonomi:
ISLAM, KAPITALISME, DAN SOSIALISME
Dalam system ekonomi kapitalisme kepemilikan individu merupakan darah
perekonomiannya. Oleh karena itu, bagi mereka yang mampu menguasai
Faktor produksi maka dialah yang menguasai perekonomian. Ekonomi
kapitalis berdiri berlandaskan pada hak milik individu. Ia akan
memberikan kebebasan sebesar-besarnya pada individu untuk menguasai
barang-barang yang produktif maupun yang konsumtif, tanpa ada ikatan
atas kemerdekaannya untuk memiliki, membelanjakan, mengembangkan, maupun
mengeksploitasi kekayaan. Falsafah yang digunakan adalah falsafah
individualism, yang memandang bahwa individu merupakan proses dari
segalanya. Dalam sisitem ini setiap orang di beri kebebasan untuk
mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (kuantitas), dan kebebasan
cara memperolehnya.
Sedangkan dalam sisitem ekonomi sosialis selalu mengedepankan pada hak
milik umum atau hak milik orang banyak yang diperankan oleh Negara atas
alat-alat produksi. Tidak mengakui hak kepemilikan individu, jika hal
itu mash menyangkut masalah kepemilikan umum. Negara adalah satu-satunya
pemilik alat produksi. Falsafah yang menjadi landasannya adalah
falsafah kolektivisme. Falsafah ini beranggapan bahwa dasar pokok adalah
banyak orang. Individu diberikan batasan dalam memperoleh jumlah
kekayaan, sedang dalam hal cara memperolehnya ia diberikan kebebasan.
System kepemilikan dalam Islam memiliki kekhususan yang berbeda, dan ia
sanagt relevan dengan kehidupan masyarakat. Jika seseorang diberikan
kebebasan dalam jumlah dan cara memperoleh harta, maka akan terjadai
kesenjangan social. Karena, yang memiliki modal akan berkuasa dan
menindas yang miskin. Sedang jika seseorang di brikan batasan dalam
memperoleh harta dan kebebasan cara memperoleh, maka akan berakibat pada
lemahnya etos kerja. Islam hadir dengan system yang berbeda, Islam
mengakui hak milik individu dan hak milik kolektif. Ia memberikan
lapangan tersendiri terhadap keduannya. System ini didirikan atas
lendaan kebebasan ekonomi yang terikat, artinya setiap individu
diberikan kebebasan untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, namun
dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam syariat.
DAFTAR REFERENSI
- Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persfektif Islam, Yogyakarta, BPFE-YOYAKARTA, 2004
- An Nabhani,Taqyudin, Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti. 2009
- Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta, Gaya Media Pratama. 2000
Selamat Mengerjakan tugas mu kawan.....