Kamis, 14 Juli 2016

Perselisihan Ulama Seputar Wali Nikah

| Kamis, 14 Juli 2016
Perselisihan Ulama Seputar Wali Nikah banyak sekali perselisihan dikalangan para ulama fikih.. salah satunya yang akan saya jelaskan di blog fikih muamalah ini...

a. Pensyaratan Wali Nikah dalam Pernikahan Para ulama berselisih pendapat mengenai apakah wali merupakan syarat sahnya nikah atau tidak?, terdapat beberapa pendapat mengenai ini, namun pendapat yang paling kuat dalil dan segi pengambilan dalilnya ada dua, yaitu: jumhur ulama, berpendapat bahwa wali disyariatkan dalam pernikahan, dan perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Ibnu Mundzir menyatakan bahwa ia tidak mengetahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat ini. Abu Hanifah berpendapat, bahwa wali tidak di syaratkan dalam pernikahan secara mutlak dan seorang perempuan yang telah baligh lagi berakal, sudah bisa menikahkan dirinya sendiri dan perempuan lain  Segi pengambilan dalil: Ulama hanafiyah mendasarkan pendapatnya dengan: 2. Al-Qur’an Telah terdapat pada ayat yang secara tidak langsung menunjukkan hak pernikahan kepada wanita. Dan adapun dasar tentang hak ini adalah fa’il haqiqi yang terdapat pada ayat berikut: فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ Artinya : “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami lain.” وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ Artinya : “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.” فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ Artinya: “Kemudian apabila telah sampai (akhir) iddah mereka, maka tidak dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.” Ketiga ayat ini jelas menunjukkan bahwa nikah, rujuk, dan apapun yang dilakukan wanita pada dirinya sendiri selama itu baik adalah timbul dari wanita itu sendiri dan ini juga berakibat pula pada tidak tergantungnya nikah pada izin wali yang mengakadnya. 1. As-sunnah Pertama, diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Al-Bukhari: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ " Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya. Dan seorang perawan dimintai izin terlebih dahulu.” Didalam riwayat lain disebutkan: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا Artinya: “Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri.” Dan ada pula riwayat dari Abu Dawud dan An-Nasa’i: لَيْسَ لِلْوَلِىِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا Artinya: “Seorang wali tidaklah memiliki hak terhadap janda. Adapun wanita yatim maka dimintai pertimbangan. Dan diamnya adalah persetujuannya.” Adapun segi istidlalnya adalah bahwa hadist ini menciptakan adanya hak bagi wanita terhadap dirinya sendiri. Dan menafikan hak bagi orang lain didalam urusan-urusan yang berkitan dengan pernikahannya. Dan ini memberikan hak bagi wanita untuk memilih pasangan dan mengakad dirinya sendiri didalam pernikahannya. Adapun perawan karena sikap malu-malunya terhadap laki-laki dan adat malu-malu ini mencegah untuk mengatakan secara jelas apakah ia setuju atau tidak, maka As-Syari’ memberikan keringanan dengan mencukupkan isyarat yang menunjukkan persetujuannya. Dan bukanlah penjelasan ini dengan konsekuensi penjelasanya menunjukkan bahwa As-Syari’ menghilangkan haknya untuk mengakad dirinya sendiri secara langsung yang sebenarnya berdasarkan Qawa’idul Ahliyah secara umum itu telah menetapkan kemampuannya untuk mengakad dirinya sendiri. Tapi nikah itu tetap menjadi haknya sebagaimana juga telah tetap juga pada janda. Namun perawan memang memiliki kekhususan tersendiri. Kedua, hadist tentang pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Salamah yang ketika itu beliau mengutus seseorang untuk mengkhitbahnya. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku tidak memiliki wali yang bisa hadir dalam pernikahan.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah karena tidak hadirnya wali ini membuat hal ini dibenci oleh Allah SWT.” Dari hadist ini menunjukkan bahwa tidak ada wali Ummu Salamah yang bisa hadir pada saat terjadinya akad sebagaimana Ummu Salamah katakan. Dan sisi lain dari hadist ini juga menunjukkan bahwa wali itu tidak memiliki suara atau tidak memberikan pengaruh ketika telah terpenuhinya syarat kafa’ah(sekufu/sederajat) yang menjadi keutamaan bahwa syahnya akad itu tidak tergantung pada kehadiran wali untuk mengakad. Dan perawi pada hadist ini telah bersepakat tentang kedudukan tingkat derajatnya. Adapun riwayat lain yang terdapat tambahan lafal bahwa Ummu Salamah berkata kepada anaknya: “Ya Umar, nikahkanlah aku dengan Rasulullah SAW.” atau sabda Nabi SAW: “Ya Umar, nikahkanlah ibumu denganku!” ini tidaklah kuat. Karena anaknya (Umar) pada waktu itu masih kecil yang belum memiliki kecakapan (ahliyyah) untuk mengelola suatu hal. Dan adapun perkataan bahwa ini merupakan kekhususan-kekhususan Nabi SAW ini tertolak. Karena sesuatu yang ditetapkan sebagai kekhususan Nabi SAW itu membutuhkan dalil yang khusus. Dalil aqly: bahwa nikah sama saja dengan jual beli, seorang wanita berhak menjual apa saja yang dia miliki tanpa perlu adanya wali, maka begitu pula dengan nikah. I. Kelompok yang Mensyaratkan Wali Para Ulama’ yang mensyaratkan wali mengambil dalil dari pendapat mereka dengan Al-Qur;an, As-Sunnah, dan Dalil Aqly. 1. Al-Qur’an وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ Artinya; “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.” وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا Artinya: “Janganlah kalian nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” Dan dalil yang juga dipakai oleh Hanafiyah إذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ Artinya : “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.” Adapun istidlal pada dua ayat pertama adalah bahwa khithab disini mengarah ke wali. Maka ini menunjukkan bahwa menikah itu adalah hak wali bukan wanita sendiri. Lalu adapun istidlal pada dalil yang ketiga adalah bahwa para wali dilarang untuk mencegah wanita dari menikah dengan orang yang wanita pilih. Para ulama’ disini mengatakan bahwa pencegahan disini hanya bisa terwujud pada orang yang memiliki kekuasaan untuk melarang. Dan ini menunjukkan bahwa akad nikah adalah kekuasaan wali bukan wanita. Para ulama’ disini mengatakan: “Ini telah dikuatkan dengan sababun nuzul pada ayat ini, mengenai kisah Ma'qal bin Yasar, dimana ia telah menikahkan saudarinya, namun saudarinya itu ditalak suaminya dengan talak roj'iy. Suaminya meninggalkannya sampai habis masa iddahnya, namun setelah itu, si suami hendak ruju' dengan istrinya lagi, tetapi Ma'qal bersumpah tidak akan menikahkan saudaranya dengan mantan suaminya itu, sehingga turunlah ayat ini. Dan ini telah diriwayatkan dari Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan hadist ini telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi dari Ma’qal bin Yasar. Dari sebab ini maka kita ketahui, wali itu dipertimbangkan dalam pernikahan, karena sekiranya tidak, maka tentu ayat ini tidak mencela perbuatan Ma'qal yang tidak mau menikahkan saudarinya melainkan akan menjelaskan bahwa perempuan itu bisa menikahkan dirinya sendiri.” Jadi sekiranya wanita itu memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Maka ia akan melakukannya karena masih cintanya wanita tersebut terhadap suaminya. Oleh karena itu, jauhlah perkataan orang yang mengatakan bahwa khitab pada ayat ini adalah untuk para suami. Dan telah datang pula suatu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Thawus, Mujahid, dll tentang penafsiran الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ Dalam ayat وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ Artinya; “Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian sentuh (campuri).” Bahwa itu adalah wali. 2. As-sunnah Pertama, diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa’i: عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ Artinya: “Dari Abi Musa, bahwa rasulullah SAW bersabda: “tidak syah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali." Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Dan Hakim telah menyebutkan hadist ini dengan berbagai jalur. Dan ia mengatakan: “Riwayat ini shahih dari istri-istri Nabi SAW, seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah, dan Zainab bin Jahsyin.” Kemudian ia menguatkannya dengan menyebutkan 30 sahabat. Para ulama’disini lalu mengatakan: “Ini adalah jelas bahwa nikah itu tidak syah tanpa adanya wali.” Kedua, diriwayatkan oleh Imam lima kecuali An-Nasa’i: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا , عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا , فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ , فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا , فَإِنِ اشْتَجَرُوا , فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ " Artinya: dari ‘Aisyah R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan manapun yang dinikahkan dengan tanpa seizin walinya, maka nikah tersebut batal. Namun jika suami telah mencampurinya maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar misly. Lalu jika mereka (tetap) menghalangi. Maka penguasa adalah wali bagi yang orang yang tidak memiliki wali.” Ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy: لا تزوج المرأةُ المرأةَ، ولا تزوج المرأة نفسها، فإن الزانية هي التي تزوج نفسها Artinya: “Seorang perempuan tidak menikahkan perempuan lain, dan tidak (pula) menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya pezina adalah dia yang menikahkan dirinya sendiri.” 3. Dalil Aqly Nikah memiliki maksud-maksud tertentu yaitu mengikat dua keluarga. Dan seorang wanita dengan kekurangan yang ia miliki berupa kurang bagusnya memilih biasanya lebih mengutamakan perasaannya, tidak pada logikanya. Maka hal tersebut menutupi timbulnya sisi kemashlahatan yang dikehendaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut tercegah untuk mengakad dirinya sendiri secara Bantahan-bantahan: Terhadap hadis di atas yang dikemukakan oleh jumhur untuk menunjukkan disyaratkannya wali nikah, ulama Hanafiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan dewasa dan sehat pikirannya, menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai berikut: Hadis لانكاح الاّ بولىّ ٍ, mengandung dua arti, pertama tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, tapi bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata “la” itu diartikan tidak sah, maka arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama Hanafiyah juga mewajibkan adanya wali. Hadis ايّما امرأة نكحت بغير إِذن وليّها فنكاحها باطل, bahwa perkawinan yang batal itu bila perkawinan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau mengawinkan prempuan lain adalah bila perempuan itu masih kecil atau akalnya tidak sehat, sedangkan wanita yang sudah dewasa boleh saja mengawinkan dirinya atau mengawinkan orang lain. Namun menanggapi pernyataan ini, dalam kitab taudhihul ahkam di jelaskan bahwa, ini merupakan takwil yang sangat jauh, dan sebaiknya ditolak, sebab nash-nash pada masalah ini sudah sangat jelas sehingga tidak dibutuhkan lagi takwil-takwil seperti ini. Jumhur juga membantah pengambilan dalil golongan hanafiyah : الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ " Karena hadits ini justru menetapkan adanya hak wali, hal itu didapat dari isim tafhdil أَحَقُّ , jadi wali juga punya hak, sehingga dapat dikatakan bahwa janda lebih berhak dari pada wali dari segi ridhonya, sedangkan wali lebih berhak dalam hal perwaliannya. Jumhur juga membantah pengqiyasan hak perwalian bagi seorang wanita dengan hak jual beli dengan tiga alasan: 1. qiyas itu adalah qiyas dengan sudah adanya nash sehingga pada asalnya, qiyas itu telah tertolak 2, di dalam mengqiyas maka syarat yang harus diperhatikan adalah adanya kesama'an antara dua hukum yang diqiyaskan, sementara nikah dan jual beli ini berbeda, sebab nikah adalah hal yang sangat dijaga dan diperhatikan, dan juga harus adanya pertimbangan-peritmbangan yang baik mengenai akibat dari nikah, berbeda halnya dengan jual beli yang wilayahnya lebih luas, urusannya masih samar dan keadaannya tidak pasti. 3. terkadang sebagian akad pernikahan yang telah berlangsung akan menjadi sebuah kecacatan atau aib bagi keluarga yang lebih besar, yang tidak hanya terjadi pada salah satu dari pasangan saja. Sehingga wali disini bertindak sebagai orang yang memperhatikan kebahagian keluarga secara menyeluruh dalam hal kebaikan ataupun keburukannya. Analisis : membaca dan meneliti segala hadits dan segi pengambilan dalil dari kedua pendapat diatas, maka dapat diketahui, bahwa kedua pendapat ini memiliki dasar yang sama-sama kuat. Namun jalan yang paling aman dari ke duanya adalah mempertimbangakan adanya wali, berdasarkan kaedah ushul fiqih "al-kuruuju an al-Khilafi mustahabbun" (keluar dari perselisihan itu dianjurkan). faedah ini bisa kita terapkan apabila kita melihat satu jalan yang apabila diamalkan maka tidak akan terjadi hukum dosa, dan ini bisa diterapkan dalam masalah ini, karena jika kita mempertimbangkan wali, maka dalam pandangan ulama jumhur hati itu yang benar, dan dalam pandangan ulama hanafiyah juga dibolehkan, namun jika kita tidak mempertimbangkannya, maka dalam pandangan jumhur nikahnya batal, meski dalam pandangan ulama hanafiyah nikahnya sah, dan didasarkan pada kehati-hatian, sebaiknya wali dalam nikah dipertimbangkan

Related Posts