Perselisihan Ulama Seputar Wali Nikah banyak sekali perselisihan dikalangan para ulama fikih.. salah satunya yang akan saya jelaskan di blog fikih muamalah ini...
a. Pensyaratan Wali Nikah dalam Pernikahan Para ulama berselisih
pendapat mengenai apakah wali merupakan syarat sahnya nikah atau tidak?,
terdapat beberapa pendapat mengenai ini, namun pendapat yang paling
kuat dalil dan segi pengambilan dalilnya ada dua, yaitu: jumhur ulama,
berpendapat bahwa wali disyariatkan dalam pernikahan, dan perempuan
tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Ibnu Mundzir menyatakan bahwa ia
tidak mengetahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat ini. Abu Hanifah
berpendapat, bahwa wali tidak di syaratkan dalam pernikahan secara
mutlak dan seorang perempuan yang telah baligh lagi berakal, sudah bisa
menikahkan dirinya sendiri dan perempuan lain Segi pengambilan dalil:
Ulama hanafiyah mendasarkan pendapatnya dengan: 2. Al-Qur’an
Telah terdapat pada ayat yang secara tidak langsung menunjukkan hak
pernikahan kepada wanita. Dan adapun dasar tentang hak ini adalah fa’il
haqiqi yang terdapat pada ayat berikut: فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ
لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ Artinya : “Kemudian
jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami lain.”
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ Artinya : “Dan apabila
kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan
kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.” فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ Artinya: “Kemudian apabila telah sampai
(akhir) iddah mereka, maka tidak dosa bagimu mengenai apa yang mereka
lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.”
Ketiga ayat ini jelas menunjukkan bahwa nikah, rujuk, dan apapun yang
dilakukan wanita pada dirinya sendiri selama itu baik adalah timbul dari
wanita itu sendiri dan ini juga berakibat pula pada tidak tergantungnya
nikah pada izin wali yang mengakadnya. 1. As-sunnah Pertama,
diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Al-Bukhari: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ
تُسْتَأْمَرُ " Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A. berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya.
Dan seorang perawan dimintai izin terlebih dahulu.” Didalam riwayat
lain disebutkan: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا Artinya: “Janda lebih
berhak terhadap dirinya sendiri.” Dan ada pula riwayat dari Abu Dawud
dan An-Nasa’i: لَيْسَ لِلْوَلِىِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ وَالْيَتِيمَةُ
تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا Artinya: “Seorang wali tidaklah
memiliki hak terhadap janda. Adapun wanita yatim maka dimintai
pertimbangan. Dan diamnya adalah persetujuannya.” Adapun
segi istidlalnya adalah bahwa hadist ini menciptakan adanya hak bagi
wanita terhadap dirinya sendiri. Dan menafikan hak bagi orang lain
didalam urusan-urusan yang berkitan dengan pernikahannya. Dan ini
memberikan hak bagi wanita untuk memilih pasangan dan mengakad dirinya
sendiri didalam pernikahannya. Adapun perawan karena sikap malu-malunya
terhadap laki-laki dan adat malu-malu ini mencegah untuk mengatakan
secara jelas apakah ia setuju atau tidak, maka As-Syari’ memberikan
keringanan dengan mencukupkan isyarat yang menunjukkan persetujuannya.
Dan bukanlah penjelasan ini dengan konsekuensi penjelasanya menunjukkan
bahwa As-Syari’ menghilangkan haknya untuk mengakad dirinya sendiri
secara langsung yang sebenarnya berdasarkan Qawa’idul Ahliyah secara
umum itu telah menetapkan kemampuannya untuk mengakad dirinya sendiri.
Tapi nikah itu tetap menjadi haknya sebagaimana juga telah tetap juga
pada janda. Namun perawan memang memiliki kekhususan tersendiri. Kedua,
hadist tentang pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Salamah yang ketika itu
beliau mengutus seseorang untuk mengkhitbahnya. Kemudian Ummu Salamah
berkata: “Aku tidak memiliki wali yang bisa hadir dalam pernikahan.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah karena tidak hadirnya wali
ini membuat hal ini dibenci oleh Allah SWT.” Dari hadist ini menunjukkan
bahwa tidak ada wali Ummu Salamah yang bisa hadir pada saat terjadinya
akad sebagaimana Ummu Salamah katakan. Dan sisi lain dari hadist ini
juga menunjukkan bahwa wali itu tidak memiliki suara atau tidak
memberikan pengaruh ketika telah terpenuhinya syarat
kafa’ah(sekufu/sederajat) yang menjadi keutamaan bahwa syahnya akad itu
tidak tergantung pada kehadiran wali untuk mengakad. Dan perawi pada
hadist ini telah bersepakat tentang kedudukan tingkat derajatnya.
Adapun riwayat lain yang terdapat tambahan lafal bahwa Ummu
Salamah berkata kepada anaknya: “Ya Umar, nikahkanlah aku dengan
Rasulullah SAW.” atau sabda Nabi SAW: “Ya Umar, nikahkanlah ibumu
denganku!” ini tidaklah kuat. Karena anaknya (Umar) pada waktu itu masih
kecil yang belum memiliki kecakapan (ahliyyah) untuk mengelola suatu
hal. Dan adapun perkataan bahwa ini merupakan kekhususan-kekhususan Nabi
SAW ini tertolak. Karena sesuatu yang ditetapkan sebagai kekhususan
Nabi SAW itu membutuhkan dalil yang khusus. Dalil aqly:
bahwa nikah sama saja dengan jual beli, seorang wanita berhak menjual
apa saja yang dia miliki tanpa perlu adanya wali, maka begitu pula
dengan nikah. I. Kelompok yang Mensyaratkan Wali Para
Ulama’ yang mensyaratkan wali mengambil dalil dari pendapat mereka
dengan Al-Qur;an, As-Sunnah, dan Dalil Aqly. 1. Al-Qur’an
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ Artinya; “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang
diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.” وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا Artinya: “Janganlah kalian nikahkan
orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman.” Dan dalil yang juga dipakai oleh Hanafiyah إذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ Artinya : “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri
(kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah
(lagi) dengan calon suaminya.” Adapun istidlal pada dua
ayat pertama adalah bahwa khithab disini mengarah ke wali. Maka ini
menunjukkan bahwa menikah itu adalah hak wali bukan wanita sendiri.
Lalu adapun istidlal pada dalil yang ketiga adalah
bahwa para wali dilarang untuk mencegah wanita dari menikah dengan orang
yang wanita pilih. Para ulama’ disini mengatakan bahwa pencegahan
disini hanya bisa terwujud pada orang yang memiliki kekuasaan untuk
melarang. Dan ini menunjukkan bahwa akad nikah adalah kekuasaan wali
bukan wanita. Para ulama’ disini mengatakan: “Ini telah dikuatkan dengan
sababun nuzul pada ayat ini, mengenai kisah Ma'qal bin Yasar, dimana ia
telah menikahkan saudarinya, namun saudarinya itu ditalak suaminya
dengan talak roj'iy. Suaminya meninggalkannya sampai habis masa
iddahnya, namun setelah itu, si suami hendak ruju' dengan istrinya lagi,
tetapi Ma'qal bersumpah tidak akan menikahkan saudaranya dengan mantan
suaminya itu, sehingga turunlah ayat ini. Dan ini telah diriwayatkan
dari Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan hadist ini telah
dishahihkan oleh At-Tirmidzi dari Ma’qal bin Yasar. Dari sebab ini maka
kita ketahui, wali itu dipertimbangkan dalam pernikahan, karena
sekiranya tidak, maka tentu ayat ini tidak mencela perbuatan Ma'qal yang
tidak mau menikahkan saudarinya melainkan akan menjelaskan bahwa
perempuan itu bisa menikahkan dirinya sendiri.” Jadi
sekiranya wanita itu memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Maka
ia akan melakukannya karena masih cintanya wanita tersebut terhadap
suaminya. Oleh karena itu, jauhlah perkataan orang yang mengatakan bahwa
khitab pada ayat ini adalah untuk para suami. Dan telah datang pula
suatu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Thawus, Mujahid, dll tentang
penafsiran الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ Dalam ayat وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ Artinya; “Dan jika
kalian menceraikan mereka sebelum kalian sentuh (campuri).” Bahwa itu
adalah wali. 2. As-sunnah Pertama, diriwayatkan oleh
Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa’i: عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا
بِوَلِيٍّ Artinya: “Dari Abi Musa, bahwa rasulullah SAW bersabda:
“tidak syah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali."
Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Dan Hakim telah
menyebutkan hadist ini dengan berbagai jalur. Dan ia mengatakan:
“Riwayat ini shahih dari istri-istri Nabi SAW, seperti ‘Aisyah, Ummu
Salamah, dan Zainab bin Jahsyin.” Kemudian ia menguatkannya dengan
menyebutkan 30 sahabat. Para ulama’disini lalu mengatakan: “Ini adalah
jelas bahwa nikah itu tidak syah tanpa adanya wali.” Kedua,
diriwayatkan oleh Imam lima kecuali An-Nasa’i: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا , عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا , فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ , فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا
بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا , فَإِنِ اشْتَجَرُوا , فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ " Artinya: dari ‘Aisyah R.A. berkata,
Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan manapun yang dinikahkan dengan tanpa
seizin walinya, maka nikah tersebut batal. Namun jika suami telah
mencampurinya maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar misly.
Lalu jika mereka (tetap) menghalangi. Maka penguasa adalah wali bagi
yang orang yang tidak memiliki wali.” Ketiga, diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy: لا تزوج المرأةُ المرأةَ،
ولا تزوج المرأة نفسها، فإن الزانية هي التي تزوج نفسها Artinya: “Seorang
perempuan tidak menikahkan perempuan lain, dan tidak (pula) menikahkan
dirinya sendiri. Karena sesungguhnya pezina adalah dia yang menikahkan
dirinya sendiri.” 3. Dalil Aqly Nikah memiliki
maksud-maksud tertentu yaitu mengikat dua keluarga. Dan seorang wanita
dengan kekurangan yang ia miliki berupa kurang bagusnya memilih biasanya
lebih mengutamakan perasaannya, tidak pada logikanya. Maka hal tersebut
menutupi timbulnya sisi kemashlahatan yang dikehendaki. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa wanita tersebut tercegah untuk mengakad dirinya
sendiri secara Bantahan-bantahan: Terhadap hadis di atas
yang dikemukakan oleh jumhur untuk menunjukkan disyaratkannya wali
nikah, ulama Hanafiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan
dewasa dan sehat pikirannya, menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai
berikut: Hadis لانكاح الاّ بولىّ ٍ, mengandung dua arti,
pertama tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, tapi bukan
berarti tidak sah. Kedua, bila kata “la” itu diartikan tidak sah, maka
arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya,
karena terhadap dua perempuan tersebut ulama Hanafiyah juga mewajibkan
adanya wali. Hadis ايّما امرأة نكحت بغير إِذن وليّها فنكاحها
باطل, bahwa perkawinan yang batal itu bila perkawinan tanpa izin wali,
bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan
mengawinkan dirinya atau mengawinkan prempuan lain adalah bila perempuan
itu masih kecil atau akalnya tidak sehat, sedangkan wanita yang sudah
dewasa boleh saja mengawinkan dirinya atau mengawinkan orang lain.
Namun menanggapi pernyataan ini, dalam kitab taudhihul ahkam di jelaskan
bahwa, ini merupakan takwil yang sangat jauh, dan sebaiknya ditolak,
sebab nash-nash pada masalah ini sudah sangat jelas sehingga tidak
dibutuhkan lagi takwil-takwil seperti ini. Jumhur juga membantah
pengambilan dalil golongan hanafiyah : الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا
مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ " Karena hadits ini justru
menetapkan adanya hak wali, hal itu didapat dari isim tafhdil أَحَقُّ ,
jadi wali juga punya hak, sehingga dapat dikatakan bahwa janda lebih
berhak dari pada wali dari segi ridhonya, sedangkan wali lebih berhak
dalam hal perwaliannya. Jumhur juga membantah pengqiyasan hak perwalian
bagi seorang wanita dengan hak jual beli dengan tiga alasan: 1. qiyas
itu adalah qiyas dengan sudah adanya nash sehingga pada asalnya, qiyas
itu telah tertolak 2, di dalam mengqiyas maka syarat yang harus
diperhatikan adalah adanya kesama'an antara dua hukum yang diqiyaskan,
sementara nikah dan jual beli ini berbeda, sebab nikah adalah hal yang
sangat dijaga dan diperhatikan, dan juga harus adanya
pertimbangan-peritmbangan yang baik mengenai akibat dari nikah, berbeda
halnya dengan jual beli yang wilayahnya lebih luas, urusannya masih
samar dan keadaannya tidak pasti. 3. terkadang sebagian akad pernikahan
yang telah berlangsung akan menjadi sebuah kecacatan atau aib bagi
keluarga yang lebih besar, yang tidak hanya terjadi pada salah satu dari
pasangan saja. Sehingga wali disini bertindak sebagai orang yang
memperhatikan kebahagian keluarga secara menyeluruh dalam hal kebaikan
ataupun keburukannya. Analisis : membaca dan meneliti segala hadits dan
segi pengambilan dalil dari kedua pendapat diatas, maka dapat
diketahui, bahwa kedua pendapat ini memiliki dasar yang sama-sama kuat.
Namun jalan yang paling aman dari ke duanya adalah mempertimbangakan
adanya wali, berdasarkan kaedah ushul fiqih "al-kuruuju an al-Khilafi
mustahabbun" (keluar dari perselisihan itu dianjurkan). faedah ini bisa
kita terapkan apabila kita melihat satu jalan yang apabila diamalkan
maka tidak akan terjadi hukum dosa, dan ini bisa diterapkan dalam
masalah ini, karena jika kita mempertimbangkan wali, maka dalam
pandangan ulama jumhur hati itu yang benar, dan dalam pandangan ulama
hanafiyah juga dibolehkan, namun jika kita tidak mempertimbangkannya,
maka dalam pandangan jumhur nikahnya batal, meski dalam pandangan ulama
hanafiyah nikahnya sah, dan didasarkan pada kehati-hatian, sebaiknya
wali dalam nikah dipertimbangkan