LIMA KAIDAH INDUK
(الْقَوَاعِدُالْخَمْسُ)
KAIDAH PERTAMA
اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala sesuatu, tergantung kepada maksud/tujuannya”
1. Sumber pengambilannya
Sumber pengambilan kaidah tersebut antara
lain :
a.Firman Allah :
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ
يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ (ال عمران
145)
“Barang siapa menghendaki
pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat Kami berikannya pahala itu. Dan kami akan memberikan balasan kepada
orang – orang yang bersyukur”.
b. Sabda Rasulullah SAW :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ ورسُولهِ فَهِجْرَتُهُ الَى الله ورَسُوْلِهِ
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُه إِلَى دُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ (متفق
عليه)
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi
setiap orang hanya memperoleh sesuatu sesuai apa yang diniatkannya. Karena itu
barang siapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya pada Allah
dan Rasulnya dan Barangsiapa Hijrahnya untuk mendapatkan (keuntungan) dunia
atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya kepada apa yang ia kehendaki”.
2. Tujuan disyari’atkan niat
Tujuan
disyari’atkan niat adalah untuk membedakan amal ibadah dan ‘adah (bukan ibadah),
untuk menentukan status amal serta tingkatan amal ibadah antara yang satu
dengan yang lain.
Dengan demikian maka mendermakan
sesuatu kepada orang lain dapat bernilai ibadah bila dimaksudkan untuk mencari
ridla Allah dan dapat menjadi amal ‘adah bila dimaksudkan untuk mencari
keuntungan duniawi. Berstatus sebagai sedekah bila dimaksudkan untuk memperoleh
pahala dari Allah SWT, berstatus sebagai zakat bila dimakudkan untuk membayar
hak orang lain (fakir miskin dll) yang tersimpan dalam harta tersebut,
berstatus sebagai promosi bila dimaksudkan untuk memperkenalkan produk yang
dihasilkannya. Dan berstatus sebagai suap bila dimaksudkan untuk menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal.
Mandi
dapat menghilangkan hadas bila dimaksudkan untuk mandi Jinabat. Tapi bisa
sekedar membersihkan badan atau menyegarkan badan bila tidak diniatkan mandi jinabat.
Shalat berstatus fardlu bila diniatkan shalat fardlu, dan berstatus sunnah bila
diniatkan shalat sunnah.
3. Beberapa kaidah yang dapat ditarik dari kaidah
ini
a. مَا
يُشْتَرَطُ فيهِ التَّعْيِيْنُ فَالْخَطَآُ فيهِ مُبْطِلٌ
“Amal
perbuatan yang disyaratkan menentukan niat, maka kekeliruan penentuannya
membatalkan amal”.
Shalat
dhuhur disyaratkan menentukan niat, yakni niat shalat dhuhur. Bila shalat
dhuhur keliru diniatkan shalat ashar maka shalat itu batal.
b. مَا
يُشْتَرَطُ التَّعْيِيْنُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلًا
اِذّاعَيَّنَهُ وَاَخْطَأَ ضَرَّ
“Perbuatan yang secara umum disyaratkan
menentukan niat, tetapi secara rinci tidak
disyaratkan menentukannya, bila ditentukan niatnya dan ternyata keliru,
berbahaya (membatalkan)”.
Dalam
shalat Jama’ah seorang makmum disyaratkan niat makmum kepada imam (secara umum),
tidak disyaratkan menentukan (secara rinci) siapa imamnya. Karena itu bila
seorang makmum menyatakan niat makmum kepada ahmad, ternyata yang menjadi imam
adalah Mahmud, maka batallah jama’ah orang itu.
c.مَالَا يُشْتَرَطُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا تَفْصِيْلًا
اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَأ َ لَمْ
يَضُرَّ
“Perbuatan yang secara umum maupun secara
terperinci tidak disyaratkan menentukan niat, bila ditentukan dan ternyata
keliru, tidak berbahaya”
Menyatakan
niat menjadi imam terhadap orang tertentu dalam shalat, secara umum dan secara
rinci tidak disyaratkan. Karena itu bila seorang imam niat menjadi imam dari ahmad,
ternyata makmum itu Mahmud, maka tidak batal jama’ahnya.
Demikian
pula tidak batal shalat seseorang dengan niat shalat dhuhur pada hari Rabu
ternyata shalatnya pada hari kamis. Karena penentuan hari tidak disyaratkan
dalam shalat, secara keseluruhan maupun secara rinci.
d.مَقَا صِدُ اللّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللَّا فِظِ
“Maksud lafadh/kata itu tergantung pada niat
orang yang mengatakannya”
Seorang suami mempunyai isteri bernama
Thaliq (orang yang tertalak) atau seorang tuan memiliki budak bernama Hurrah
(orang yang bebas merdeka) kemudian mereka memanggil ’hai Thaliq” dan “hal
Hurrah”. Panggilan tersebut bila diniatkan menalak istri dan memerdekakan
budak, maka jatuh talak dan pemerdekaan.
Tetapi bila dimaksudkan sekedar memanggil
nama mereka, maka tidak menimbulkan akibat perceraian dan pemerdekaan.
Seseorang disaat melakukan shalat
mengucapkan kalimat :
ادْخُلُوهَا بِسَلامٍ آمِنِينَ (الحجر 46)
“Masuklah
kedalamnya dengan sejahtera lagi aman”
Kalimat
tersebut bila diucapkan dengan maksud membaca al-qur’an maka jelas dibolehkan.
Tetapi bila dimaksudkan untuk memerintah seseorang, maka membatalkan shalat.
يَا
يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ( مريم 12 )
“Hai Yahya ambillah kitab ini dengan sungguh-sungguh”