Selasa, 07 September 2021

KAIDAH FIQHIYAH - FIQH MUAMALAH

| Selasa, 07 September 2021

LIMA KAIDAH INDUK

(الْقَوَاعِدُالْخَمْسُ)

 KAIDAH PERTAMA

اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

 “Segala sesuatu, tergantung kepada maksud/tujuannya”

 Maksud hati (Niat)  seseorang yang menyertai  amal perbuatan, berperan menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Dengan niat, amal perbuatan dapat bernilai sebagai amal ibadah (amal syari’at) atau bukan amal ibadah (amal ‘adah).  Amal perbuatan yang sama akan berbeda statusnya bila niat yang menyertainya berbeda. Shalat pada saat terbit fajar berstatus salat fardlu bila diniatkan shalat subuh, dan berstatus shalat sunnah bila diniatkan shalat sunnah. 

 

1. Sumber pengambilannya

   Sumber pengambilan kaidah tersebut antara lain :

a.Firman Allah :      

وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ (ال عمران 145)

                 “Barang siapa menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat Kami berikannya pahala itu. Dan kami akan memberikan balasan kepada orang – orang yang bersyukur”.

 

b. Sabda Rasulullah SAW :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ ورسُولهِ فَهِجْرَتُهُ الَى الله ورَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُه إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (متفق عليه)

       “Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanya memperoleh sesuatu sesuai apa yang diniatkannya. Karena itu barang siapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya dan Barangsiapa Hijrahnya untuk mendapatkan (keuntungan) dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya kepada apa yang ia kehendaki”.

 

2. Tujuan disyari’atkan niat

          Tujuan disyari’atkan niat adalah untuk membedakan amal ibadah dan ‘adah (bukan ibadah), untuk menentukan status amal serta tingkatan amal ibadah antara yang satu dengan yang lain.

          Dengan demikian maka mendermakan sesuatu kepada orang lain dapat bernilai ibadah bila dimaksudkan untuk mencari ridla Allah dan dapat menjadi amal ‘adah bila dimaksudkan untuk mencari keuntungan duniawi. Berstatus sebagai sedekah bila dimaksudkan untuk memperoleh pahala dari Allah SWT, berstatus sebagai zakat bila dimakudkan untuk membayar hak orang lain (fakir miskin dll) yang tersimpan dalam harta tersebut, berstatus sebagai promosi bila dimaksudkan untuk memperkenalkan produk yang dihasilkannya. Dan berstatus sebagai suap bila dimaksudkan untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

     Mandi dapat menghilangkan hadas bila dimaksudkan untuk mandi Jinabat. Tapi bisa sekedar membersihkan badan atau menyegarkan badan bila tidak diniatkan mandi jinabat. Shalat berstatus fardlu bila diniatkan shalat fardlu, dan berstatus sunnah bila diniatkan shalat sunnah.

 

3. Beberapa kaidah yang dapat ditarik dari kaidah ini

a.              مَا  يُشْتَرَطُ فيهِ التَّعْيِيْنُ فَالْخَطَآُ فيهِ مُبْطِلٌ

    “Amal perbuatan yang disyaratkan menentukan niat, maka kekeliruan penentuannya membatalkan amal”.

       Shalat dhuhur disyaratkan menentukan niat, yakni niat shalat dhuhur. Bila shalat dhuhur keliru diniatkan shalat ashar maka shalat itu batal.

b.   مَا  يُشْتَرَطُ التَّعْيِيْنُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلًا اِذّاعَيَّنَهُ وَاَخْطَأَ ضَرَّ

   “Perbuatan yang secara umum disyaratkan menentukan niat,  tetapi secara rinci tidak disyaratkan menentukannya, bila ditentukan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya (membatalkan)”.

 

       Dalam shalat Jama’ah seorang makmum disyaratkan niat makmum kepada imam (secara umum), tidak disyaratkan menentukan (secara rinci) siapa imamnya. Karena itu bila seorang makmum menyatakan niat makmum kepada ahmad, ternyata yang menjadi imam adalah Mahmud, maka batallah jama’ah orang itu.

 

   c.مَالَا يُشْتَرَطُ  لَهُ جُمْلَةً وَلَا  تَفْصِيْلًا  اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَأ َ لَمْ  يَضُرَّ  

   “Perbuatan yang secara umum maupun secara terperinci tidak disyaratkan menentukan niat, bila ditentukan dan ternyata keliru, tidak berbahaya”

Menyatakan niat menjadi imam terhadap orang tertentu dalam shalat, secara umum dan secara rinci tidak disyaratkan. Karena itu bila seorang imam niat menjadi imam dari ahmad, ternyata makmum itu Mahmud, maka tidak batal jama’ahnya.

  Demikian pula tidak batal shalat seseorang dengan niat shalat dhuhur pada hari Rabu ternyata shalatnya pada hari kamis. Karena penentuan hari tidak disyaratkan dalam shalat, secara keseluruhan maupun secara rinci.

 d.مَقَا صِدُ  اللّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللَّا  فِظِ                                

   “Maksud lafadh/kata itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”

          Seorang suami mempunyai isteri bernama Thaliq (orang yang tertalak) atau seorang tuan memiliki budak bernama Hurrah (orang yang bebas merdeka) kemudian mereka memanggil ’hai Thaliq” dan “hal Hurrah”. Panggilan tersebut bila diniatkan menalak istri dan memerdekakan budak, maka jatuh talak dan pemerdekaan.

   Tetapi bila dimaksudkan sekedar memanggil nama mereka, maka tidak menimbulkan akibat perceraian dan pemerdekaan.

          Seseorang disaat melakukan shalat mengucapkan kalimat :

ادْخُلُوهَا بِسَلامٍ آمِنِينَ (الحجر 46)

“Masuklah kedalamnya dengan sejahtera lagi aman”

         Kalimat tersebut bila diucapkan dengan maksud membaca al-qur’an maka jelas dibolehkan. Tetapi bila dimaksudkan untuk memerintah seseorang, maka membatalkan shalat.

 

 

      يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ( مريم 12  )

 “Hai Yahya ambillah kitab ini dengan sungguh-sungguh”

 

Related Posts